Oleh : Muallimin Ahmad*
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A
Mata Kuliah :
Madzahib at-Tafsir
PERBINCANGAN
TENTANG TAFSIR MODERN
Oleh
: Muallimin Ahmad*
I. Prolog
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang mengandung berbagai pelajaran dan
aturan-aturan yang meyangkut aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan lain-lain.
Sebagai petunjuk bagi orang – orang yang bertaqwa.
Pada zaman Rasulullah, ayat-ayat al-Qur’an diturunkan secara bertahap
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pada waktu dan tempatnya. Sehingga kaum
muslimin dapat memahami dan mengamalkannya secara langsung. Bila ada perbedaan
(khilaf) pada ayat dalam pemahaman, Nabi menjelaskan permasalahan tersebut
dengan jelas.
Mulai pada zaman sahabat sampai sekarang a-Qur’an dikaji dan dianalisa
untuk menjawab masalah-masalah yang ada.
Banyak ulama yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang semuanya bertujuan
agar aliran mudah dipahami dan diamalkan bagi kaum muslimin.
Berakhirnya khilafah Abbasiyah ditandai dengan jatuhnya kota
Baghdad pada
tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol, ini merupakan awal dari masa kemunduran
Islam. Kota Baghdad merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat
kaya akan khazanah-khazanah ilmu pengetahuan, termasuk tafsir ikut pula lenyap
dibumi hanguskan oleh pasukan Mongol.[1]
Setelah itu Islam mengalami kemunduran demikian juga perihalnya dengan
tafsir al-Qur'an mengalami stagnasi, disinyalir kemunduran ini disebabkan oleh
ditutupnya pintu ijtihad. Walhasil, para cendekiawan Islam termasuk para
mufassir cenderung berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an dan mengambil jalan
aman dengan menjadi komentator tasir-tasir klasik, mereka tidak berani
berijtihad sendiri sehingga ilmu tafsir yang kaya akan pengetahuan menjadi
stagnan dan tidak beranjak dari
posisinya.
Selang beberapa abad kemudian, timbullah keberanian dari para sarjana
muslim yang ”nekat" karena terbentur situasi umat yang membutuhkan tafsir segar dalam memandang
agamanya, yang seakan jauh dari realitas sosial, sehingga bermunculan
tafsir-tasir modern yang utamanya berasal dari negeri Fir'aun, Mesir.
Dalam makalah ini akan diuraikan apa faktor kemnculan tafsir modern itu,
dan siapa pelaku awal (pelopor) dalam mengadakan penafsiran kembali terhadap
al-Qur'an dan bagaimana keadaan al-Qur'an setelah adanya penyegaran dalam
penafsiran tersebut.
II. Modernisasi
Tafsir atau Tafsir Modern
Dua kata dari judul di atas layak untuk diperbincangkan, yakni
modernisasi tafsir dan tafsit modern. Modernisasi artinya suatu gerakan yang
berusaha untuk merombak cara-cara kehidupan lama menuju bentuk / model
kehidupan yang baru.[2]
Sedangkan makna tafsir setelah diterjemahkan secara bebas artinya suatu
kegiatan dari interpretasi terhadap al-Qur'an dengan menggunakan berbagai
metode yang relevan. Jadi kedua istilah tersebut jika digabungkan akan
membentuk suatu kalimat : Suatu gerakan dalam penafsiran yang baru muncul
menggantikan pola penafsiran yang lama.
Adapun tafsir modern adalah bentuk tafsir itu sendiri, suatu karya tafsir
yang dihasilkan oleh mufassir, jika ditinjau kata perkata maka tafsir adalah
suatu produk dari usaha penasiran al-Qur'an, sedangkan modern adalah kreasi
baru. Jadi tafsir modern adalah kreasi baru dalam penafsiran. Dalam Membumikan
Al-Qur'an Quraish Shihab menukilkan dua pendapat tentang Modernisasi tafsir :
Pendapat pertama mengatakan : modernisasi tafsir adalah menyebarluaskan
dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada
masa al-salaf al-awwal.
Pendapat kedua mengatakan modernisasi tafsir adalah usaha untuk
menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan
men-ta'wil-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
serta kondisi sosial masyarakat.[3]
Tentunya pendapat di atas perlu ditinjau ulang kembali, karena
masing-masing mempunyai interpretasi sendiri terhadap apa itu modernisasi
tafsir dan apa itu tafsir modern.
Kehancuran dan kemunduran yang
dialami umat Islam, terutama dalam bidang kehidupan intelektual dan material
ini dan beralihnya secara drastis pusat-pusat kebudayaan dari dunia Islam ke
Eropa menimbulkan rasa lemah dan putus asa di kalangan masyarakat kaum
muslimin. Ini menyebabkan mereka lalu mencari pegangan dan sandaran hidup yang
bisa mengarahkan kehidupan mereka.[4] Para sarjana muslim, khususnya
intelektual Islam karena kemunduran tersebut mulai mencari-cari kiblat tempat
menimba ilmu demi mendapatkan pola penafsiran yang berbeda dari sebelumnya.
III.
Munculnya Mufassir Modern
Mesir adalah ditakdirkan oleh Allah menjadi kawah candradimuka para
intelektual Islam. Di sana pertama kali awal
kebangkitan Islam dimulai setelah Bagdad
tereliminasi dalam panggung sejarah.[5]
Setelah puas bermanja diri dalam kawah yang sangat dalam, Islam kembali tampil
kedepan, di sana timbul gerakan Islam yang dikenal dengan Ikhwanul Muslimin
oleh Hassan Al-Banna, yang mempengaruhi Sayyid Quthb (1906 - ?) sehingga
lahirlah tafsir fi zilali al-Qur'an. Demikian juga dengan pergerakan
Jamaluddin Al-Afghani yang mempengaruhi lahirnya mufassir Muhammad Abduh (akhir abad 19 M). Siapa yang tidak
kenal mereka ? dunia barat pun dibuat tercengang dengan karya yang dihasilkan
oleh mereka. Khususnya Muhammad Abduh (w. 1905) yang awalnya berjuang lewat
bulletin dan majalah dan kuliah-kuliahnya di al-Azhar[6] sehingga
menghasilkan produk tasfsir yang bernama 'Al-Manar. Setelah beliau meninggal di
Iskandariah, jejak perjuangannya diteruskan oleh murid jeniusnya Rasyid Ridha
(asli Syiria w. 1935) yang tak kalah mumpuninya dalam bidang tafsir ini.
Pada masa ini muncul juga sebuah karya tafsir besar dalam bidang ilmu
pengetahuan, yakni tafsir yang dikarang oleh Tantawi Jauhari (Pengajar di Darul
Ulum Mesir). Karena tertarik dengan keajaiban-keajaiban alam, Jauhari membuat
karya tafsir yang diberinya nama dengan Al-Jawahir fi tafsiril Qur'an.
Dalam tafsirnya ia membahas secara rinci tentang ilmu kealaman (natural science).
Akan tetapi menurut Manna' Al-Qaththan tentang Tantawi jauhari bahwa tafsir ini
tidak diterima di kalangan cendekiawan karena meniru pola Ar-Razi, makanya
tafsir ini dinilai dengan sebutan "di dalamnya terdapat segala sesuatu
kecuali tafsir itu sendiri".[7]
Selang beberapa waktu kemudian
muncul seorang pria tampan yang ahli dalam tata bahasa atau sastra, terutama
bahasa Arab dan sastra Arab, baik dari segi semantik, semiotik, grammar Arab
(Qaidat al-lughawiyah) dan yang berkaitan dengan itu. Dialah Amin Al-Khulli (w.
1967 ada yang mengatakan 1966?) yang kelak menjadi guru sekaligus suami dari
wanita jenius Islam abad ini, 'Aisyah Abdurrahman bint as-Syathi'. Amin al-Khulli
mempunyai kecenderungan dalam penafsiran yang diperkenalkannya dengan sebutan
tafsir filologi[8],
berlandaskankan diktum yang menyebutkan bahwa al-Qur'an turun dalam bahasa Arab
dan menurut retorika mereka[9],
maka Amin Al-Khulli berani menerapkan ilmu filologi ini dalam metode
penafsirannya.
Akan tetapi dalam perjalanan
hidupnya, Amin al-Khulli tidak sempat menyelesaikan metodenya, sehingga
tampillah kemuka seorang istrinya yang sangat cerdas, Aisyah Abdurrahman bint
As-Syati' (lahir Dumyat 1913) yang merumuskan bahwa tafsir itu harus melalui
petunjuk lafat, karena al-Qur`an menggunakan bahasa Arab, maka harus dicari
petunjuk dalam bahasa aslinya yang memberikan rasa kebahasaan bagi lafat-lafat
yang digunakan secara berbeda, kemudian di simpulkan petunjuknya dengan
meneliti segala bentuk lafat yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan
konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat al-Qur`an secara keseluruhan.
Ada pula Fazurrahman (1919-?)dengan metode gerak gandanya (double
cyrcle) Pertama, memahami arti atau makna suatu pernyataan
Al-Qur’an, dengan mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan
respon Al-Qur’an muncul. Kedua, ditempuh dari prinsip umum ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. Tapi sayangnya Fazlurrahman tidak
menghasilkan produk tafsir seperti Muhammad Abdh dan rasyid Ridha, akan tetapi
setidaknya ia telah menyumbang pemikiran dalam dunia tafsir melalui karyanya
yang telah diterjemahka ke dalam bahasa Indonsia dengan judul Tema-tema Pokok
Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Mizan.[10]
Setelah itu banyak bermunculan
para mufassir kontemporer dalam dunia dunia tafsir al-Qur'an seperti Muhammad
Syahrur (Syiria) dengan karya Nahw Ushul Jadidah lil fiqhi al-mar'ah,[11]
Asghar Ali Engineer(India), Amina Wadud Muhsin (?), Muhammad Syaltut, Ali Ash-Shabuni
dengan Ayat Ahkam, di Indoenesia ada Quraish Shihab, dan lain-lain yang
karya-karya mereka dikenal dengan sebutan tafsir kontemporer.
Sebenarnya masih banyak lagi bagaikan
butir pasir di tepi pantai para mufassir modern yang muncul di awal abad ke dua
puluh yang menandai kebangkitan kembali Islam,[12]
akan tetapi tidak mungkin dapat disebutkan dalam pembahasan yang sangat singkat
ini. Untuk itu, akan penulis sampaikan saja kecenderungan metode penafsiran
tafsir modern ini.
IV. Kecenderungan-Kecenderungan Metode
Tafsir Modern
Terlepas dari bias dan
tidaknya suatu tafsir, secara prinsipil ada dua metode tafsir yang berkembang
sejalan dengan tumbuhnya pemikiran Islam. Kedua metode tersebut masing-masing
dikenal sebagai “pendekatan analisis” (al-’ittijah al-tajzi’i fi al-tafsir)
dan pendekatan tematik atau sintetik (al-’ittijah al-tawhidi aw al-mawdu’i
fi al-tafsir). Pendekatan tematik umumnya telah membantu dalam pengembangan
pemikiran hukum Islam (fiqh) dan memperkaya studi ilmiah dalam bidang ini. Sebaliknya,
pendekatan analitik dalam studi Qur’an umumnya melekat pada perkembangan
pemikiran Islam – perkembangan pendekatan tafsir dapat dikatakan ‘mandek’ atau
tidak menghasilkan karya baru selama beberapa abad setelah terbitnya tafsir
karya At-Tabari, Ar-Razi, dan Al-Syaikh At-Tusi.
Dari pemaparan di atas para
mufassir modern memiliki kecenderungan :
1. Menafsirkan al-Qur'an dengan metode
tematik
2. Pendekatan Sains dan Teknologi
3. Pendekatan Historis (asbabun nuzul) baik
makro maupun mikro
4. Pendekatan sosial budaya (Adabi Ijtima'i)
5. Heurmenetika al-Qur'an
6. dan lain-lain
V. Kesimpulan
Akhirnya dari eksplorasi di atas dapatlah diambil
kesimpulan, bahwa kegiatan modernisasi tafsir atau tafsir modern adalah suatu
kegiatan kebangkitan kembali dari kemandegan penafsiran karena banyak yang
menganggap bahwa tafsir atau ijtihad telah tertutup. Dalam kesimpulan ini
penulis lebih sepakat dengan pendapatnya Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur'an-nya, ia mengatakan bahwa :
Hemat kita,
memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan Al-Quran sebagaimana dipahami dan
ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena Al-Quran
harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka
untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti
dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan,
kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan
generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu
generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti
"keseluruhan" hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan
kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan
pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Di pihak lain,
melakukan tajdid dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada
hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang dinilai "selalu sesuai
dengan setiap masa dan tempat." Selain itu, menafsirkan dan
men-ta'wil-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah
tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan
masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga
sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: ada yang bersifat objektif
dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.[13]
Demikian sedikit eksplorasi dari kami, semoga
bermanfaat. Wallahu A'lam.
VI. Referensi
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta
: Garfindo, 2002
Pius A.
Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya : Arkola, 2004
Zuhairini,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta
: Bumi Aksara, 2004
J.J.G Jansen,
Diskursus Tafsir Modern, Yogyakarta :
Tiara Wacana,1997
Manna'
Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, terj. Mudzakir
AS, (Jakarta
: Litera Antar Nusa, 1992
Fazlur
Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, Bandung:
Mizan, 1996
Muhammad
Syahrur, Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsudin, Yogyakarta : eLsaQ Press, 2006
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung ; Mizan, 1996
* Mahasiswa Semester X Jurusan
Tafsir Hadis NIM : 04.20.16 Makalah diajukan guna dipresentasikan di jurusan
Tasir Hadis semester 4 STIQ An-Nur Bantul.
[1] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta
: Garfindo, 2002), hlm. 111
[2]
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arkola, 2004),
hlm. 476
[3] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung ; Mizan, 1996),
hlm. 64
[4] Zuhairini,
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta
: Bumi Aksara, 2004) hlm. 109
[5]
Lihat J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir Modern, (Yogyakarta : Tiara
Wacana,1997), hlm.vii pada kata pengantar dari Redaksi.
[6]
Lihat J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir Modern, hlm. 36-37
[7]
Manna' Al-Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, terj. Mudzakir AS,
(Jakarta : Litera Antar Nusa, 1992), hlm. 505
[8]
Studi tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya
sastranya (atau sumber-sumber tertulis lainnya), Pius A. Partanto, Kamus …,
hlm. 178
[9]
J.J.G Jansen, Diskursus…, hlm. 89
[10]
Rujuk : Fazlur Rahman, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
[11]
Lebih jelas tentangnya, rujuk buku Muhammad Syahrur, Fiqih Islam Kontemporer,
terj. Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta : eLsaQ
Press, 2006)
[12]
Lebih lengkap silahkan merujuk ke bukunya J.J.G Jansen, Diskursus Tafsir
Modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar