"Jangan Hanya Copy Paste" "Pelajari dan Pahami""Agar Ilmu dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain" "Makalah&Materi yang ada disini cuma untuk referensi saja" "Selamat Belajar"

Minggu, 30 September 2012

GRATIFIKASI DALAM ISLAM



HADIAH DAN PEMBERIAN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Hadits I
Dosen Pengampu : Shihabul Millah, M.A




Oleh :
Ririn Maftuhatul Muna



FAKULTAS USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN
(STIQ) AN-NUR
YOGYAKARTA
2009




BAB I
PENDAHULUAN

Memberi adalah suatu kenikmatan dan keindahan. Karena dengan memberi berarti kita telah membagi rasa syukur dengan orang lain. Tapi, tidak selamanya memberi itu disunnahkan, ada yang wajib bahkan ada juga yang haram.
Tidak berbeda dengan memberi, menerima pemberian pun juga mempunyai beberapa hukum. Di sini pemakalah mencoba menyampaikan tentang erika memberi dan menerima serta menggambarkan beberapa konteks yang berbeda yang menimbulkan wajah hukum yang berbeda pula. Dalam hal ini, pemakalah hanya sedikit mengambil haditss-hadits sebagai dalil yang memperkuat suatu pernyataan. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa hadits yang bersangkutan dengan hal yang dibahas  oleh pemakalah sangatlah banyak dan beragam.
Berikut makalah kami.
 

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Keutamaan Memberi (Shadaqah)
 
”Dari anas Ra, berkata, bahwa Rasulullah saw, bersabda : ”Saling memberi hadiah, karena hadiah itu menarik kedengkian”.
Hadits ini memerintahkan kepada kita (uamt Islam) untuk saling memberi hadiah, karena hadiah itu menarik kedengkian. Dengan memberikan hadiah kepada orang lain berarti pula kita membagi kebahagiaan / rizki dari Allah swt, sehingga orang lain turut mensyukuri nikmat-Nya, dan orang yang kita brei tidak merasa dengki pada kita.
Sehingga Rasulullah saw, bersabda :



”Bahwa kaya itu bukanlah karena banyaknya harta, akan tetapi yang disebut kaya itu adalah kaya hati”.
Namun perlu diperhatikan :
 ”Bukhari muslim meriwayatkan –lafadz hadits ini sesuai lafadz Bukhari- dari Hakim bin Hizam, R.a, Nabi saw, besabda : ”tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, cukupilah nafkah orang yang menjadi tanggunganmu terlebih dahulu (sebelum memberi kepada orang yang lebih jauh). Shadaqahyang paling utama adalah yang diberikan sesudah sekedar terpenuhinya kebutuhan pokok. Barangsiapa yang menjaga kesucian dirinya, Allah akan menjaga kesucian dirnya. Barangsiapa yang merasa cukup (sehingga bisa menjaga diri dari meminta-minta), maka Allah akan memberinya kecukupan.” 
Walaupun banyaknya pahala memberi hadiah kepda orang lain sudah tidak diragukan lagi, namun hadits di atas hars dipahami bahwa, kewajiban itu harus dilaksanakan, baru menambahnya dengan amalan-amalan sunnah.
Dalam realita, banyak belum memahami mendahulukan kewajiban. Misalnya, seorang mahasiswa yagn biaya hidupnya masih ditanggung orang tuanya, belum mempuyai hasil sendiri. Dia dengan tenangnya – dengan dalih bahwa hadiah adalah shadaqah – dengan uang kiriman dari sang Ayah membelikan hadiah yang bermacam-macam untuk pacarnya. Menurut hemat penulis, hal ini tidak bisa dibenarkan, karena dia berarti berdusta pada orang  tua yang telah memberi amanah kepadanya. Uang yang seharusnya dibelanjakan untuk menunjang pendidikannya telah disalah gunakan.
Dan kita juga dianjurkan untuk memberi kepada orang yang lebih membutuhkan :

”Bukhari-Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah R.a, ia berkata : ”pernah datang seorang laki-laki keada Nabi saw, lalu berkata : ”Sungguh aku sangat lapar” beliau pun menyuruh seseorang untuk meminta bantuan kepada salah seorang isteri beliau, namun isteri beliau berkata : ”Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa selai air tawar”, beliau pun lalu menyuruh seseorang untuk meminta bantuan kepada ister beliau yang lain, namun isteri beliau ini juga mengatakan hal yang sama, sehingga semua isteri beliau juga mengatakan hal yang sama, yakni ”Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa selai air tawar”, Nabi saw, lalu berkata kepada para sahabat : ”Adakah dari kalian yang mau menjamu orang ini malam ini?” seorang dari kalangan Anshor berkata :”saya wahai Rasulullah” selanjutnya orang itu pun membawa orang tadi ke rumahnya. Sesampainya di rumah, dia berkata kepada isterinya :”Muliakanlah tamu Rasulullah saw, ini” dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa dia berkata kepada isterinya : ”Apakah engkau punya makanan?” isterinya menjawab: tidak, kecuali hanya sebatas yang cukup untuk jatah makan anak-anak kita”. Dia berkata : lakukanlah sesuatu yang dapat membuat mereka lupa makan, jika mereka teringat minta makan, maka nina bobokanlah! Selanjutnya jika tamu kita telah siap untuk menyantap apa yang kita hidangkan, padamkanlah lampunya dan berilah kesan bahwa kita seakan-akan juga ikut makan, ”Akhirnya, mereka duduk bersama di ruang makan dan tamu itu pun menyantap makanan, sementara tuan rumah melewati malam harinya dengan perut kosong. Pagi harinya orang Anshar tadi melaporkan apa yang diperbuatnya kepada Nabi saw, dan beliau berkata : ”Sungguh Allah telah merasa senang terhadap apa yang kalian perbuat terhdap tamu kalian tadi malam”.

  1. Celaan terhadap sifat kikir, menyebut-nyebut pemberian, menatik kembali pemberian dan menyia-nyiakan harta.
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(Al-Baqarah : 264).


”Relakanlah kalian terhadap orang-orang yang menerima sedekahmu !”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dari Jarir bin Abdullah.
Sababul wurud :
Kata Jarir bin Abdullah, orag-orang telah datang kepda Rasulullah seraya berkata : ”Yaa Rasulallah, orang-orang yang kami beri sedekah telah mendatangi kami dan mereka berlaku aniaya terhadap kami” Rasulullah bersabda : ”Relakanlah kalian ... dst” selanjutnya mereka bertanya : ”Sekalipun mereka berlaku aniaya kepada kami?” jawab beliau : ”Relakanlah kalian terhadap orang-orang yang menerima sedekah kamu sekalipun kalian dianiaya”. Hal ini merupakan ujian terhadap mereka sampai dimana kecintaan mereka terhadap harta.
Hadits ini mengingatkan agar kita merelakan apa yang pernah kita berikan kepada orang lain dalam rangka melaksanakan kewajiban, meringankan beban mereka, bertolong-tolonglah dalam menolong orang-orang fakir, miskin dan orang-orang yang membutuhkan.[1]
 
”Tidak selayaknya seseorang mengambil kembali apa yang telah dia hadiahkan kecuali hadiahnya orang tua kepada anaknya. Dan orang yang menarik kembali pemberian ibarat orang yang menarik kembali muntahannya”
Hadits ini sama dengan hadits berikut :
 
“Saya pernah meyumbangkan satu ekor kuda yang sangat berharga untuk sabilillah, saya kira dia mau menjualnya dengan harga yang murah, lalu saya bertanya kepada Rasulullah saw, tentang hal itu, maka beliau bersabda : “Janganlah kamu membelinya dan jangan pula kamu menarik kembali sedekahmu karena orang yang menarik sedekahnya kembali layaknya anjing yang muntah, lalu ia menjilati muntahannya”
Dua hadits di atas menerangkan tentang larangan menarik kembali pemberian yang telah dia serahkan kepada orang lain. Karena, pada hakikatnya barang / sesuatu yang telah diberikan kepada orang lain telah menjadi hak milik orang yang diberi, sehingga kita tidak lagi memiliki hak padanya.


“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,  (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang Telah diberikan-Nya kepada mereka. dan kami Telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (Qs. An-Nisa : 36-37)
“Dari Asma’ R.a, Nabi saw, bersabda : infaqkanlah (sebanyak mungkin), jangan menghitungnya, (jika menghitungnya), maka Allah swt, akan memberimu dengan dihitung-hitung, dan jangan kamu menyimpan hartamu, nanti Allah swt, akan menyimpan pemberian-Nya (sedikit memberi), belanjakanlah hartamu semampumu”.
Asma’ R.a dan Aisyah, R.a, adalah kakak beradik, dalam hadits ini, Nabi saw, telah menganjurkan agar memperbanyak sedekah melalui beberapa cara, yakni :
1)      Membelanjakan harta sebanyak-banyaknya, akan tetapi sedekah yang disukai adalah sedekah yang menurut syari’at dan ditempat-tempat yang diridhoi Allah swt. Sedekah yang tidak sesuai dengan syari’at tidak akan mendatangkan pahala, bahkan akan mendatangkan musibah.
2)      Nabi saw, melarang menghitung-hitung dalam bersedekah. Dan ini menguatkan cara yang pertama.
Alim ulama’ menafsirkan hal tersebut dengan dua maksud. Yakni :
1)      Menghitung dan meyimpan harta. Maksudnya adalah apabila kita menghitung-hitung dan menyimpan harta, maka Allah swt, akan menyempitkan rezekinya.
2)      Ketika kita memberi sesuatu kepada peminta-minta atau siapa saja, janganlah memberinya dengan menghitung-hitung. Dengan demikian Allah swt, akan memberikan pahala dan balasan tanpa batas hal; tersebut ditegaskan dengan sabdanya : ”Jangan menyimpan dan menumpuk hartamu, apabila kamu menyimpannya sehingga tidak bersedekah di jalan Allah swt. Maka karunia dan kebaikan Allah juga akan ditangguhkan”.[2]
 
”Sesungguhnya  Allah meridloi tiga hal dari kalian dan membenci tiga hal dari kalian, tiga hal yang Allah ridloi dari kalian adalah menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kalian berpegang teguh pada tali (Agama) Allah secara total, dan kalian tidak bercerai-berai. Tiga hal yang tidak Allah sukai dari kalian adalah mengucapkan kata-kata ”katanya”, banyak bertanya (yang tidak perlu), dan menyia-nyiakan harta”.

  1. Menerima pemberian dan larangan meminta-minta dalam keadaan tidak terpaksa
 ”Jika engkau diberi sesuatu yang engkau tidak minta, maka makanlah dan besedekahlah dari padanya”.
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i dari Umar bin Khattab.
Sababul Wurud :
Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sanadnya dari Basyir bin Sa’id As-Sa’idi : Umar telah meminta aku bekerja secara suka rela, namun ketika aku selesai bekerja, ia memerintahkan agar aku diber upah. Ku tahu, aku telah berkerja semata-mata karena Allah, aku hanya mengharap keutamaan dan kemuliaan dari pada-Nya. Umar berkata : ”Ambillah apa yang aku berikan sebab aku pun pernah bekerja di zaman Rasulullah dan beliau mengupahiku dan kukatakan kepadanya seperti perkataanmu, namun Rasulullah besabda : ”Jika kau diberi sesuatu yang tidak kau minta ...dst
Jika kita diber harta atau lainnya padahal kita tidak memintanya, maka hendaknya kita terima. Kita boleh memakannya dan boleh pula menyedekahkannya, jika kita tidak tahu persis bahwa barang persis bahwa barang itu besumber dari usaha haram, kita tidak akan dibebani pertanggung jawaban .[3]
Dalam hadits lainnya juga diriwayatkan sebagai berikut :
 
”Jika datang padamu orang yang membawakan sebagian harta ini, pdahal engkau tidak mengharapkan dan tidak pula memintanya, ambillah ia dan jangan kau menuruti hawa nafsumu”
Sababul Wurud :
Kata Abdullah bin Umar : Rasulullah telah memberi aku sesuatu, kukatakan kepadanya : ”Berikanlah kepada orang yang membutuhkan dari padaku”. Rasulullah saw, bersabda : ”Ambillah, jika datang kepadamu orang yang membawakan ... dst”[4]
Namun juga disisi lain, Rasul juga melarang umatnya untuk meminta-minta, kecuali memang karena terpaksa.
 
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw, bersabda : ”Barangsiapa meminta-minta untuk memperbanyak hartanya, sesungguhnya ia sedang meminta bara api neraka. Maka apa yang menginginkannya, mintalah sedikit atau banyak” (HR. Muslim, Misykat)
 Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa meminta-minta tidak diperbolehkan bagi dua orang. Pertama bagi orang kaya, kedua bagi orang sehat dan kuat (mampu bekerja). Adapun bagi orang yang mempunyai hutang yang menyusahkannya, atau kefakiran yang menghinakannya, diperbolehkan baginya meminta-minta.
Karena, berusaha dengan keringat sendiri itu lebih mulia di sisi Allah :
 
”Bukhari meriwayatkan dari Zubayr bin Awwam R.a, ia berkata : Rasululah saw, bersabda : ”Seseorang dari kalian yang mengambil talinya, lalu pergi mencari kay bakar dan memanggulnya sendiri, lalu menjualnya, sehingga Allah menjagakannya dari meminta-minta, maka yang demikian itu lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, entah diberi atau tidak”.
Menerima hadiah itu diperbolehkan seperti yang ada dalam hadits yang di depan. Namun, ketika pemberian sesuatu itu ada unsur-unsur tertentu yang tidak dibenarkan oleh Syara’, maka baik penerima atau pemberinya hukumnya sama-sama haram. Hal ini biasa dinamakan suap menyuap. Sesuai dengan hadits sebagai berikut :
”Anas R.a, berkata, Rasulullah saw, besabda : ”barangsiapa meminjami uang, kemudian peminjam memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau ia menaikkan di kendaraannya, hendaknya jangan menerima hadiahnya atau menaiki kendaraannya, kecuali apabila sebelumnya sudah ada hubungan seperti itu, maka tidak mengapa” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi)
Hendaknya orang yang menerima hadiah memperhatikan apakah pemberi hadiah tersebut mempunyai niat buruk atau tidak. Sebagaimana dalam berhutang, di dalamnya terdapat suatu keburukan, yakni riba. Banyak sekali riwayat yang menyebutkan, di antaranya adalah sabda Nabi saw : ”Orang-orang yang menyuap maupun disuap dilaknat Allah swt”. Dari Abdullah ibnu Umar R.hum, Rasulullah besabda :  ”Orang-orang yang menyuap maupun disuap mendapat laknat” sabda beliau yang lain, ”Penyuap dan yang disuap adalah ahli neraka”.
Sebuah hadits menyebutkan bahwa suatu kaum yang biasa melakukan suap menyuap akan mendapat bencana kemarau yang panjang. Selain itu, suatu kaum yang menyukai suap, mereka akan dihinggapi ketakutan. Banyak sekali riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw, sangat tidak menyukai para penyuap, orang-orang yang disuap, dan perantara keduanya. (At-Taghrib).[5]
 
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari uraian di atas, kami dapat menyimpulkan :
1)      Bahwa memberi hadiah merupakan ajaran Rasulullah.
2)      Memberi lebih diutamakan kepada orang yang lebih membutuhkan.
3)      Etika memberi adalah sebagai berikut :
a.       Ikhlas
b.      Tidak mengungkit-ungkit kembali pemberiannya
c.       Tidak mencela orang yang diberi
d.      Tidak meminta kembali pemberiannya, sekalipun orang yang diberi berlaku aniaya kepadanya.
4)      Disunnahkan menerima pemberian dari seseorang walaupun tidak sedang membutuhkannya, karena dengan pemberian itu bisa disedekahkan kembali.
5)      Dilarang meminta-minta dalam keadaan tidak terpaksa, karena, orang muslim harus mempunyai harga diri.
6)      Dilarang menyuap dan menerima suap dalam bentuk apapun.

Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun kami menyadari akan banyaknya kekurangan di berbagai sisi. Oleh karena itu, kami sangat berharap saran serta kritik yang membangun dari Bapak Dosen serta rekan-rekan yang kami hormati.
Dan akhirnya,  senantiasa memohon kepada Allah, Semoga makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita. Kami sampaikan banyak terima kasih.
 
DAFTAR PUSTAKA

ad-Dimasyiqi, Ibnu Hamzah Al-Husain al-Hanafi, Asbabul Wurud, Jakarta : Kalam Mulia, 2006

Al-Atsqolany, ibnu Hajar, Bulughul Maram, Indonesia : Al-Haramain

Al-Din, Zaki dan ‘Abd al-Azhim al-Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Bandung : Mizan, 2002

al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya, Fadhilah Sedekah, Yogyakarta : Ash-Shaf, 2006

An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’i, Juz 4-5, Semarang : Toha Putra, 1930.

Nawawi, Imam, Ringkasan Riyadush Shalihin, Bandung : IBS, 2006

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Hida Karya Agung, 1990

 







[1] Ibnu Hamzah Al-Husain al-Hanafi ad-Dimasyiqi, Asbabul Wurud, (Jakarta : Kalam Mulia, 2006) hlm. 159
[2] Maulana Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Fadhilah Sedekah, (Yogyakarta : Ash-Shaf, 2006) hlm 87
[3] Ibnu Hamzah, Opcit, hlm. 91
[4] Ibid,  102
[5] Maulana Muhammad, Opcit, hlm. 390-391

Tidak ada komentar:

Posting Komentar