HADIAH DAN
PEMBERIAN
Makalah ini disusun guna
memenuhi tugas
Mata kuliah : Hadits I
Dosen Pengampu : Shihabul
Millah, M.A
Oleh :
Ririn
Maftuhatul Muna
FAKULTAS USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN
(STIQ) AN-NUR
YOGYAKARTA
2009
BAB I
PENDAHULUAN
Memberi adalah suatu
kenikmatan dan keindahan. Karena dengan memberi berarti kita telah membagi rasa
syukur dengan orang lain. Tapi, tidak selamanya memberi itu disunnahkan, ada
yang wajib bahkan ada juga yang haram.
Tidak berbeda dengan memberi, menerima
pemberian pun juga mempunyai beberapa hukum. Di sini pemakalah mencoba
menyampaikan tentang erika memberi dan menerima serta menggambarkan beberapa
konteks yang berbeda yang menimbulkan wajah hukum yang berbeda pula. Dalam hal
ini, pemakalah hanya sedikit mengambil haditss-hadits sebagai dalil yang
memperkuat suatu pernyataan. Karena, tidak bisa dipungkiri bahwa hadits yang
bersangkutan dengan hal yang dibahas
oleh pemakalah sangatlah banyak dan beragam.
Berikut makalah kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Keutamaan Memberi (Shadaqah)
”Dari anas Ra, berkata,
bahwa Rasulullah saw, bersabda : ”Saling memberi hadiah, karena hadiah itu
menarik kedengkian”.
Hadits ini
memerintahkan kepada kita (uamt Islam) untuk saling memberi hadiah, karena
hadiah itu menarik kedengkian. Dengan memberikan hadiah kepada orang lain
berarti pula kita membagi kebahagiaan / rizki dari Allah swt, sehingga orang
lain turut mensyukuri nikmat-Nya, dan orang yang kita brei tidak merasa dengki
pada kita.
Sehingga Rasulullah
saw, bersabda :
”Bahwa
kaya itu bukanlah karena banyaknya harta, akan tetapi yang disebut kaya itu
adalah kaya hati”.
Namun perlu
diperhatikan :
”Bukhari
muslim meriwayatkan –lafadz hadits ini sesuai lafadz Bukhari- dari Hakim bin
Hizam, R.a, Nabi saw, besabda : ”tangan yang di atas lebih baik daripada tangan
yang di bawah, cukupilah nafkah orang yang menjadi tanggunganmu terlebih dahulu
(sebelum memberi kepada orang yang lebih jauh). Shadaqahyang paling utama
adalah yang diberikan sesudah sekedar terpenuhinya kebutuhan pokok. Barangsiapa
yang menjaga kesucian dirinya, Allah akan menjaga kesucian dirnya. Barangsiapa
yang merasa cukup (sehingga bisa menjaga diri dari meminta-minta), maka Allah
akan memberinya kecukupan.”
Walaupun
banyaknya pahala memberi hadiah kepda orang lain sudah tidak diragukan lagi,
namun hadits di atas hars dipahami bahwa, kewajiban itu harus dilaksanakan,
baru menambahnya dengan amalan-amalan sunnah.
Dalam realita, banyak belum memahami mendahulukan
kewajiban. Misalnya, seorang mahasiswa yagn biaya hidupnya masih ditanggung
orang tuanya, belum mempuyai hasil sendiri. Dia dengan tenangnya – dengan dalih
bahwa hadiah adalah shadaqah – dengan uang kiriman dari sang Ayah membelikan
hadiah yang bermacam-macam untuk pacarnya. Menurut hemat penulis, hal ini tidak
bisa dibenarkan, karena dia berarti berdusta pada orang tua yang telah memberi amanah kepadanya. Uang
yang seharusnya dibelanjakan untuk menunjang pendidikannya telah disalah
gunakan.
Dan kita
juga dianjurkan untuk memberi kepada orang yang lebih membutuhkan :
”Bukhari-Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah R.a, ia berkata : ”pernah datang seorang
laki-laki keada Nabi saw, lalu berkata : ”Sungguh aku sangat lapar” beliau pun
menyuruh seseorang untuk meminta bantuan kepada salah seorang isteri beliau,
namun isteri beliau berkata : ”Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak
memiliki apa-apa selai air tawar”, beliau pun lalu menyuruh seseorang untuk
meminta bantuan kepada ister beliau yang lain, namun isteri beliau ini juga
mengatakan hal yang sama, sehingga semua isteri beliau juga mengatakan hal yang
sama, yakni ”Demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, aku tidak memiliki apa-apa
selai air tawar”, Nabi saw, lalu berkata kepada para sahabat : ”Adakah dari kalian
yang mau menjamu orang ini malam ini?” seorang dari kalangan Anshor berkata
:”saya wahai Rasulullah” selanjutnya orang itu pun membawa orang tadi ke
rumahnya. Sesampainya di rumah, dia berkata kepada isterinya :”Muliakanlah tamu
Rasulullah saw, ini” dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa dia berkata kepada
isterinya : ”Apakah engkau punya makanan?” isterinya menjawab: tidak, kecuali
hanya sebatas yang cukup untuk jatah makan anak-anak kita”. Dia berkata :
lakukanlah sesuatu yang dapat membuat mereka lupa makan, jika mereka teringat
minta makan, maka nina bobokanlah! Selanjutnya jika tamu kita telah siap untuk
menyantap apa yang kita hidangkan, padamkanlah lampunya dan berilah kesan bahwa
kita seakan-akan juga ikut makan, ”Akhirnya, mereka duduk bersama di ruang
makan dan tamu itu pun menyantap makanan, sementara tuan rumah melewati malam
harinya dengan perut kosong. Pagi harinya orang Anshar tadi melaporkan apa yang
diperbuatnya kepada Nabi saw, dan beliau berkata : ”Sungguh Allah telah merasa
senang terhadap apa yang kalian perbuat terhdap tamu kalian tadi malam”.
- Celaan terhadap sifat kikir, menyebut-nyebut pemberian, menatik kembali pemberian dan menyia-nyiakan harta.
”Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada
tanah, Kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak
bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(Al-Baqarah
: 264).
”Relakanlah kalian terhadap
orang-orang yang menerima sedekahmu !”
Hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i, dari Jarir bin Abdullah.
Sababul wurud :
Kata Jarir bin Abdullah,
orag-orang telah datang kepda Rasulullah seraya berkata : ”Yaa Rasulallah,
orang-orang yang kami beri sedekah telah mendatangi kami dan mereka berlaku
aniaya terhadap kami” Rasulullah bersabda : ”Relakanlah kalian ... dst”
selanjutnya mereka bertanya : ”Sekalipun mereka berlaku aniaya kepada kami?”
jawab beliau : ”Relakanlah kalian terhadap orang-orang yang menerima sedekah
kamu sekalipun kalian dianiaya”. Hal ini merupakan ujian terhadap mereka
sampai dimana kecintaan mereka terhadap harta.
Hadits ini mengingatkan agar
kita merelakan apa yang pernah kita berikan kepada orang lain dalam rangka
melaksanakan kewajiban, meringankan beban mereka, bertolong-tolonglah dalam
menolong orang-orang fakir, miskin dan orang-orang yang membutuhkan.[1]
”Tidak selayaknya seseorang
mengambil kembali apa yang telah dia hadiahkan kecuali hadiahnya orang tua
kepada anaknya. Dan orang yang menarik kembali pemberian ibarat orang yang
menarik kembali muntahannya”
Hadits ini sama dengan hadits berikut :
“Saya pernah meyumbangkan satu ekor kuda yang sangat berharga untuk
sabilillah, saya kira dia mau menjualnya dengan harga yang murah, lalu saya
bertanya kepada Rasulullah saw, tentang hal itu, maka beliau bersabda :
“Janganlah kamu membelinya dan jangan pula kamu menarik kembali sedekahmu
karena orang yang menarik sedekahnya kembali layaknya anjing yang muntah, lalu
ia menjilati muntahannya”
Dua hadits di atas menerangkan tentang larangan
menarik kembali pemberian yang telah dia serahkan kepada orang lain. Karena,
pada hakikatnya barang / sesuatu yang telah diberikan kepada orang lain telah
menjadi hak milik orang yang diberi, sehingga kita tidak lagi memiliki hak
padanya.
“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri, (yaitu)
orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan
menyembunyikan karunia Allah yang Telah diberikan-Nya kepada mereka. dan kami
Telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (Qs. An-Nisa : 36-37)
“Dari Asma’ R.a,
Nabi saw, bersabda : infaqkanlah (sebanyak mungkin), jangan menghitungnya,
(jika menghitungnya), maka Allah swt, akan memberimu dengan dihitung-hitung,
dan jangan kamu menyimpan hartamu, nanti Allah swt, akan menyimpan
pemberian-Nya (sedikit memberi), belanjakanlah hartamu semampumu”.
Asma’
R.a dan Aisyah, R.a, adalah kakak beradik, dalam hadits ini, Nabi saw, telah
menganjurkan agar memperbanyak sedekah melalui beberapa cara, yakni :
1) Membelanjakan harta
sebanyak-banyaknya, akan tetapi sedekah yang disukai adalah sedekah yang menurut
syari’at dan ditempat-tempat yang diridhoi Allah swt. Sedekah yang tidak sesuai
dengan syari’at tidak akan mendatangkan pahala, bahkan akan mendatangkan
musibah.
2)
Nabi
saw, melarang menghitung-hitung dalam bersedekah. Dan ini
menguatkan cara yang pertama.
Alim ulama’ menafsirkan hal tersebut dengan dua maksud.
Yakni :
1)
Menghitung dan meyimpan harta. Maksudnya adalah apabila
kita menghitung-hitung dan menyimpan harta, maka Allah swt, akan menyempitkan
rezekinya.
2)
Ketika kita memberi sesuatu kepada peminta-minta atau
siapa saja, janganlah memberinya dengan menghitung-hitung. Dengan demikian
Allah swt, akan memberikan pahala dan balasan tanpa batas hal; tersebut
ditegaskan dengan sabdanya : ”Jangan menyimpan dan menumpuk hartamu, apabila
kamu menyimpannya sehingga tidak bersedekah di jalan Allah swt. Maka karunia
dan kebaikan Allah juga akan ditangguhkan”.[2]
”Sesungguhnya Allah meridloi tiga
hal dari kalian dan membenci tiga hal dari kalian, tiga hal yang Allah ridloi
dari kalian adalah menyembah-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,
kalian berpegang teguh pada tali (Agama) Allah secara total, dan kalian tidak
bercerai-berai. Tiga hal yang tidak Allah sukai dari kalian adalah mengucapkan
kata-kata ”katanya”, banyak bertanya (yang tidak perlu), dan menyia-nyiakan
harta”.
- Menerima pemberian dan larangan meminta-minta dalam keadaan tidak terpaksa
”Jika engkau diberi sesuatu yang engkau tidak minta, maka makanlah dan
besedekahlah dari padanya”.
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud, An-Nasa’i dari Umar bin Khattab.
Sababul Wurud :
Diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sanadnya dari Basyir bin
Sa’id As-Sa’idi : Umar telah meminta aku bekerja secara suka rela, namun ketika
aku selesai bekerja, ia memerintahkan agar aku diber upah. Ku tahu, aku telah
berkerja semata-mata karena Allah, aku hanya mengharap keutamaan dan kemuliaan
dari pada-Nya. Umar berkata : ”Ambillah apa yang aku berikan sebab aku pun
pernah bekerja di zaman Rasulullah dan beliau mengupahiku dan kukatakan
kepadanya seperti perkataanmu, namun Rasulullah besabda : ”Jika kau diberi
sesuatu yang tidak kau minta ...dst”
Jika kita diber harta atau lainnya padahal kita tidak
memintanya, maka hendaknya kita terima. Kita boleh memakannya dan boleh pula
menyedekahkannya, jika kita tidak tahu persis bahwa barang persis bahwa barang
itu besumber dari usaha haram, kita tidak akan dibebani pertanggung jawaban .[3]
Dalam hadits lainnya juga diriwayatkan sebagai berikut :
”Jika datang padamu orang yang membawakan sebagian harta ini, pdahal engkau
tidak mengharapkan dan tidak pula memintanya, ambillah ia dan jangan kau
menuruti hawa nafsumu”
Sababul Wurud :
Kata Abdullah bin Umar : Rasulullah telah memberi aku
sesuatu, kukatakan kepadanya : ”Berikanlah kepada orang yang membutuhkan
dari padaku”. Rasulullah saw, bersabda : ”Ambillah, jika datang kepadamu
orang yang membawakan ... dst”[4]
Namun juga disisi lain, Rasul juga melarang umatnya untuk
meminta-minta, kecuali memang karena terpaksa.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw, bersabda : ”Barangsiapa
meminta-minta untuk memperbanyak hartanya, sesungguhnya ia sedang meminta bara
api neraka. Maka apa yang menginginkannya, mintalah sedikit atau banyak” (HR.
Muslim, Misykat)
Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa meminta-minta tidak diperbolehkan bagi dua orang.
Pertama bagi orang kaya, kedua bagi orang sehat dan kuat (mampu bekerja).
Adapun bagi orang yang mempunyai hutang yang menyusahkannya, atau kefakiran
yang menghinakannya, diperbolehkan baginya meminta-minta.
Karena, berusaha dengan keringat sendiri itu lebih mulia
di sisi Allah :
”Bukhari meriwayatkan dari Zubayr bin Awwam R.a, ia
berkata : Rasululah saw, bersabda : ”Seseorang dari kalian yang mengambil
talinya, lalu pergi mencari kay bakar dan memanggulnya sendiri, lalu
menjualnya, sehingga Allah menjagakannya dari meminta-minta, maka yang demikian
itu lebih baik baginya dari pada meminta-minta kepada orang lain, entah diberi
atau tidak”.
Menerima hadiah itu diperbolehkan seperti yang ada dalam
hadits yang di depan. Namun, ketika pemberian sesuatu itu ada unsur-unsur
tertentu yang tidak dibenarkan oleh Syara’, maka baik penerima atau pemberinya
hukumnya sama-sama haram. Hal ini biasa dinamakan suap menyuap. Sesuai dengan
hadits sebagai berikut :
”Anas R.a, berkata, Rasulullah saw, besabda : ”barangsiapa
meminjami uang, kemudian peminjam memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau
ia menaikkan di kendaraannya, hendaknya jangan menerima hadiahnya atau menaiki
kendaraannya, kecuali apabila sebelumnya sudah ada hubungan seperti itu, maka
tidak mengapa” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi)
Hendaknya orang yang menerima hadiah memperhatikan apakah
pemberi hadiah tersebut mempunyai niat buruk atau tidak. Sebagaimana dalam
berhutang, di dalamnya terdapat suatu keburukan, yakni riba. Banyak sekali
riwayat yang menyebutkan, di antaranya adalah sabda Nabi saw : ”Orang-orang
yang menyuap maupun disuap dilaknat Allah swt”. Dari Abdullah ibnu Umar
R.hum, Rasulullah besabda : ”Orang-orang
yang menyuap maupun disuap mendapat laknat” sabda beliau yang lain, ”Penyuap
dan yang disuap adalah ahli neraka”.
Sebuah hadits menyebutkan bahwa suatu kaum yang biasa
melakukan suap menyuap akan mendapat bencana kemarau yang panjang. Selain itu,
suatu kaum yang menyukai suap, mereka akan dihinggapi ketakutan. Banyak sekali
riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw, sangat tidak menyukai para
penyuap, orang-orang yang disuap, dan perantara keduanya. (At-Taghrib).[5]
BAB
III
KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Dari uraian di
atas, kami dapat menyimpulkan :
1)
Bahwa memberi hadiah merupakan ajaran Rasulullah.
2)
Memberi lebih diutamakan kepada orang yang lebih
membutuhkan.
3)
Etika memberi adalah sebagai berikut :
a.
Ikhlas
b.
Tidak mengungkit-ungkit kembali pemberiannya
c. Tidak mencela orang yang diberi
d. Tidak meminta kembali pemberiannya,
sekalipun orang yang diberi berlaku aniaya kepadanya.
4) Disunnahkan menerima pemberian dari
seseorang walaupun tidak sedang membutuhkannya, karena dengan pemberian itu
bisa disedekahkan kembali.
5)
Dilarang meminta-minta dalam keadaan tidak terpaksa,
karena, orang muslim harus mempunyai harga diri.
6)
Dilarang menyuap dan menerima suap dalam bentuk apapun.
Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun kami menyadari
akan banyaknya kekurangan di berbagai sisi. Oleh karena itu, kami sangat
berharap saran serta kritik yang membangun dari Bapak Dosen serta rekan-rekan
yang kami hormati.
Dan akhirnya, senantiasa memohon
kepada Allah, Semoga makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita. Kami
sampaikan banyak terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
ad-Dimasyiqi,
Ibnu Hamzah Al-Husain al-Hanafi, Asbabul Wurud, Jakarta : Kalam Mulia,
2006
Al-Atsqolany, ibnu Hajar, Bulughul Maram, Indonesia : Al-Haramain
Al-Din, Zaki dan ‘Abd al-Azhim al-Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim, Bandung
: Mizan, 2002
al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakariyya, Fadhilah
Sedekah, Yogyakarta : Ash-Shaf, 2006
An-Nasa’I, Sunan An-Nasa’i,
Juz 4-5, Semarang
: Toha Putra, 1930.
Nawawi, Imam, Ringkasan Riyadush
Shalihin, Bandung
: IBS, 2006
Yunus, Mahmud,
Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Hida Karya Agung, 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar